Rabu, 17 November 2010

Arti Sebuah Perjuangan

ketika aku dan bersama teman temanku seperti biasa menunggu datangnya dosen, menikmati angin siang di bawah pohon sawo, di tengah cerita datanglah seorang ibu tua bersama anaknya dengan wajah yang iba menyiratkan begitu panjangnya perjalanan yang ia tempuh bersama anaknya hanya dengan modal yang tak pernah kurang dalam setiap ingsan manusia yaitu cinta, mereka berharap cinta mapu menggerakan hati setiap insan yang mereka temui dan akan dengan senag hati mereka membagikanya dalam bentuk sedekah yang mereka sangat membutuhkanaya. Seratus rupiah mungkin tidak berarti bagi anda sekalian, tetapi bagi kami sangatlah mempunyai arti. Itulah untaian kata yang tulus selalu mereka dengungkan disetiap mereka memulai harinya. bagi kita yang materialis yang namanya uang tetaplah uang entah memiliki nominal besar atau kecil, itu adalah uang yang mampu memberi nilai terhadap apapun yang ada di dunia ini, termasuk moral sekalipun. Uang adalah segalanya.

Ketika kita berbicara tentang prestise dalam hidup ini yang sebenarnya moral sangat mengutamakan di dalamnya tetapi tak dapat disangkal bahwa uang juga punya peranan yang penting menentukan harga diri seseorang.setidak seperti inilah manusia ketika uang menjadi segalanya. Seorang ibu tua dengan seorang buah hatinya bukti nyata bahwa uang adalah memang sangat menentukan untuk satu hari hidupun ia takkan pernah lari. mereka harus dengan rela menelanjangkan semuanya yang menjadi milik mereka, melupakan harga diri dan menjadi benar benar hampa di mata yang lainya karena dengan itulah mereka yakin akan mampu menggugah hati dan cara jitu untu bisa bertahan hidup di tengah kota yang penuh dengan jutaan cerita tentang bagaimana untuk bisa survive di atas alam yang keeras ini.

Begitulah manusia mempertahankan hidupnya di dunia ini,ia tidak mau harus mati di tengah manusia yang berlimpah segalanya. Sehingga jangan lagi bertanya, kenapa seorang ibu harus melakukan dan rela melepaskan segalanya berharap pada belaskasihan, kalau bukan demi hidup, mungkin aku juga tidak seharusnya melakukan itu. Hidup di kota memang sangat jauh dari pada mereka yang jauh di desa sana meskipun ketinggalan dari lainya setidaknya mereka punya lahan untuk menanam untuh berthan hidup, mereka setidaknya masih bisa bertahan tanpa harus berharap pada kasihan dan harus menelanjangkan diri di hdapan sesame mahluk aneh. Jika hidup di hadapi dengan penuh bijakasana mungkin tak seharusnya kita saling mengemis moral,harga diri dipertaruhkan andai kata yang berkelimpahan harta tidak punya keegoisan dan berempati dengan mereka yang merasa sangat membutuhkan. Emang kadang kita berpikir kenapa kamu tidak bekerja toh semua orang bekerja dengan cara mereka sendiri untuk menemukan apa yang menjadia bagian dari mereka. (andrew)

Kamis, 11 Juni 2009

Tawanan Cinta

Aku menghampiri pekatnya malam yang kelam tanpa setitik terang, tanpa kunang-kunang, tanpa bintang yang tadi sempat berkedip sebelum aku berjumpa angin semilir dan meyapanya dengan kata-kata mimpi tentang bulan dan matahari yang tak pernah bisa bertemu. Saat aku belum tidur. Aku berdiri merasakan malam yang pernah jadi kekasih gelapku, saat aku mencumbunya, meraba sekujur tubuhnya. Sehingga aku, telah melihat diri yang telanjang. Malam bersama pekatnya Adalah kekasihku yang dulu, sebelum aku mengenal dirimu tadi siang ditempat pengakuan dosa tadi. Kami menjadi kekasih yang tak pernah merasakan dan menyadari adanya terang. Kami melebur, bersatu, erat, kuat, seperti ular menelan tikus tanpa sisa. Kami tak terlihat, tak teraba. Kami. Tak seorang pun bisa melihat kami. Desahan, cumbu rayu, meraba, mencapai puncak kenikmatan, menggapai dan akhirnya meraih puncak Bersama. Dan, aku terlelap dalam pelukannya.

“Tuhan memberkatimu, anakku. Ia mengampuni dosa-dosamu. Ia telah mati demi keselamatan kita, Anakku”. “Ya, Bapa”. Aku menyahut.

Dan, saat aku melirik kesamping kananku, dibangku sebelah kanan panti Imam, deretan yang ketiga dekat dengan tampat pengakuanku, disebelah kanan sekitar 10 yard dari altar, aku menjumpai senyummu, yang terukir indah dikuluman bibirmu yang manis diantara celah-cel;ah merekah. Aku,… tersenyum terpesona oleh orang asing yang kukenal itu. Bahkan tubuhku pun bergetar hebat, jantungku berdetak kalang kabut, aku menahannya dengan tanganku agar tidak pecah dan kembali biasa. “sensasi”, mungkin kata sahabat lamaku ini yang tepat untuk keadaanku saat ini. Sahabatku berkata:” saat kita mengalami sesuatu yang sangat dayat, sulit tuk diungkapkata-kata, kita keterbatasan bahasa, mungkin kata -sensasi- bisa mewakili tapi….”.

Sahabatku “Van”-kisahku bersamanya terukir dalam lembar sejarah –historigrafi-munkin akan jadi legenda yang terkenang siribu masa. Terlalu narsis? Mungkin benar…! Kisol, sebuah lembah sunyi, terapit deretan bukit kembar-mungkin kembar siam*seperti banyi tabung lagi trend. Dan, tiga bukit mengepung lembah ini. Lembah baliem? Bukan… itu di Papua. Lembah Kidron? Hmmn…. Itu milik sejarah. Lembah itu penuh canda, tawa dan juga tangisan. Kisol,… sebuah lembah yang sunyi, sepi, suci, subur, sabar, surge, sedih…! Dilindungi hutan tropis yang kini pasti mulai terhimpit deretan rumah beratap seng, berdiiding bamboo, yang setiap saat dapat rubuh karena dibangun dengan kemalasan dan uang tak sanggup untuk ditumpuk tuk membeli beton, pasir, semen

Tapi, Kisol Adelah Surga dan Api Penyucian. Tempat aku menikmati saat awal masa remaja dengan begitu banyak hikayat surgawi, tentang cinta,kasih,sahabat, kebersamaan yang senantiasa siap di santap seperti buah sawo yang matang. Kisol, bagaikan Gadis yang seksi, cantik, manis, indah, bibirnya terus merekah. Wajahnya memancarkan sinar yang tak pernah redup, walupun matahari mencoba melawannya. Buah dadanya begitu indah bagai gunung yang subur dengan putting susu yang coklat kemerah-merahan yang senantiasa siap mengalirkan air kehidupan. Lekukan tubuhnya sangat indah dan sempurna. Membuat orang yang melihat dan mendengar tentangnya tertarik dan rindu untuk hisup bersamanya, menikmati keindahan tubuhnya setiap saat, setiap detik, menit, jam; saat malam, siang, bahkan saat mimpi. Dan, ia pun menerima setiap orang yang datang dengan kehangatan. Ia merentangkan lengannya, mendekap dan memeluk erat setiap mereka yang datang, sehingga kulitnya yang halus dan payudaranya yang empuk dan lembut dan segala keindahannya bersatu dengan jiwa orang=orang yangdatang. Mereka tidak mau melepaskan diri dari pelukan itu, mereka ingin merasakan kulit halus dan setiap kesempurnaan tubuhnya. Meminum air susunya. Akan tetapi, gadis itu tetap perawan, tidak pernah tidak perawan, akan selau dan selamanya ia suci, murni, tak tertembus oleh nafsu birahi dari setiap orang yang terpesona karena rubuhnya. Ia tidak pernah mengunci keperawannannya dengan gembok seperti dalam kisah Robinhood. Ia tetap perawan karena setiap orang yang datang dan hidup bersamanya tidak ingin dia tercemar dan ternoda.

*moridewa*